Oleh: Dr. Nursalim, S. Pd., M. Pd.
1. Ketua Fahmi Tamami Kota Batam
2. Ketua Afiliasi Pengajar Penulis Bahasa Sastra Budaya Seni dan Desain (APEBSKID) Provinsi Kepulauan Riau
Manusia adalah makhluk yang hidup di antara dua dunia: dunia harapan dan dunia kenyataan. Di dalam harapannya, manusia selalu ingin hidup lebih baik. Ia ingin cukup, ingin tenang, ingin sejahtera. Tidak ada manusia yang sejak awal bercita-cita untuk hidup dalam kekurangan. Semua berharap pada kelimpahan, baik dalam harta, dalam kesehatan, maupun dalam ketenangan jiwa.
Harapan itu sering kita panjatkan ke langit. Dalam doa, kita menyebut satu per satu keinginan kita. Kita memohon agar hidup dipermudah, agar rezeki diluaskan, agar langkah dijauhkan dari kesempitan. Doa menjadi tempat paling sunyi bagi manusia untuk jujur tentang apa yang ia inginkan. Di hadapan Tuhan, kita membuka isi hati tanpa topeng.
Namun setelah doa selesai, hidup kembali berjalan di bumi. Kita kembali menjadi manusia dengan pilihan-pilihan yang harus diambil. Di sinilah sering muncul jarak antara harapan dan sikap. Kita berharap berubah, tetapi belum tentu siap untuk berubah. Kita berharap keadaan membaik, tetapi kita masih ragu untuk meninggalkan kebiasaan lama yang membuat kita aman, walau tidak membawa kita maju.
Kejujuran menjadi persoalan paling mendasar dalam hidup manusia. Tidak semua orang sulit berharap, tetapi banyak orang yang sulit jujur pada dirinya sendiri. Jujur berarti berani mengakui siapa diri kita hari ini. Jujur berarti berani mengakui batas, kelemahan, dan juga ketergantungan. Dan kejujuran semacam itu sering terasa berat, karena ia menuntut tanggung jawab.
Manusia sering ingin hasil, tetapi enggan menghadapi proses. Ingin kehidupan yang lebih tinggi, tetapi takut melepaskan tempat yang lebih rendah. Ingin terlihat berjuang, tetapi dalam diam masih ingin bertahan di zona nyaman. Di sinilah manusia menjadi makhluk yang penuh tarik-menarik: antara ingin berubah dan ingin tetap.
Dalam kehidupan sosial, pertolongan dan bantuan adalah bagian dari nilai kemanusiaan. Tidak ada manusia yang benar-benar bisa hidup sendiri. Kita saling membutuhkan. Yang kuat menolong yang lemah. Yang berlebih membantu yang kekurangan. Ini adalah wajah indah dari hidup bersama.
Namun bantuan juga mengandung ujian. Ia bisa menguatkan, tetapi ia juga bisa melemahkan. Ia bisa menjadi jembatan menuju kemandirian, tetapi juga bisa berubah menjadi tempat bergantung yang membuat orang enggan melangkah. Di sinilah letak pilihan yang harus dihadapi setiap manusia: apakah ia ingin ditolong untuk bangkit, atau ingin ditopang untuk tetap diam.
Secara filosofis, masalah besar bukan terletak pada kemiskinan atau kekurangan itu sendiri, tetapi pada cara manusia memandang keadaannya. Ketika kesulitan dipandang sebagai ruang untuk bertumbuh, manusia akan bergerak. Tetapi ketika kesulitan dipandang sebagai ruang untuk menetap, manusia akan berhenti.
Kemiskinan tidak selalu mematikan harapan. Yang mematikan harapan adalah ketika manusia mulai berdamai secara keliru dengan keadaan yang seharusnya ia lawan. Ketika ia tidak lagi bertanya bagaimana caranya keluar, tetapi justru sibuk mencari cara agar tetap diterima dalam keadaan itu.
Manusia sering lupa bahwa hidup bukan hanya tentang menerima, tetapi juga tentang memilih. Setiap hari kita memilih: memilih jujur atau berpura-pura, memilih bergerak atau diam, memilih bertumbuh atau bertahan. Pilihan-pilihan kecil itu pelan-pelan membentuk arah hidup kita.
Filsafat hidup mengajarkan bahwa manusia bukan sekadar makhluk yang hidup, tetapi makhluk yang sadar. Kesadaran itulah yang membuat manusia berbeda dari yang lain. Sadar bahwa hidup punya arah. Sadar bahwa hidup punya tanggung jawab. Sadar bahwa setiap keadaan menuntut sikap.
Harapan tanpa sikap hanya akan menjadi angan-angan. Sikap tanpa harapan hanya akan menjadi rutinitas yang kosong. Yang dibutuhkan manusia adalah pertemuan antara harapan dan keberanian. Harapan memberi tujuan, keberanian memberi langkah.
Pada akhirnya, hidup bukan semata tentang apa yang kita minta kepada Tuhan, tetapi juga tentang apa yang kita berani lakukan setelah kita berdoa. Doa mengangkat jiwa kita ke atas, tetapi kejujuranlah yang menjejakkan kaki kita di tanah. Tanpa kejujuran, harapan hanya akan berputar-putar di dalam kata-kata.
Mungkin pertanyaan paling dalam yang perlu dijawab setiap manusia adalah ini: apakah aku sungguh-sungguh ingin berubah, atau aku hanya ingin hidup terasa aman tanpa harus bertumbuh? Apakah aku ingin berjalan menuju kehidupan yang lebih baik, atau justru ingin berlindung dalam keadaan yang membatasi diriku sendiri?
Di sanalah letak makna hidup yang sesungguhnya. Hidup bukan soal seberapa banyak kita berharap, tetapi seberapa jujur kita melangkah. Bukan soal seberapa tinggi kita berdoa, tetapi seberapa berani kita berubah.
( redaksi )