33.4 C
Jakarta
BerandaBertaSolidaritas atau Etalase Politik?

Solidaritas atau Etalase Politik?

 

Mediaiatana.com. Tanjungpinang — Undangan itu tampak biasa saja: rapat koordinasi penggalangan bantuan untuk korban banjir Sumatra. Tapi beberapa pejabat yang hadir menyebut suasananya “lebih mirip pengarahan politik daripada rapat kemanusiaan.” Ruangan rapat di Kantor Gubernur Kepri, awal Desember itu, dipenuhi perwakilan OPD, BUMD, asosiasi pelaku usaha, hingga bank-bank pemerintah. Semua datang setelah menerima undangan resmi yang—di luar teks formalnya—mengisyaratkan kewajiban.

“Kalimatnya memang sopan, tapi nadanya jelas: hadir dan berkontribusi,” kata salah seorang peserta rapat, yang meminta namanya disembunyikan demi keamanan kariernya.

Di atas kertas, Pemprov Kepri menyebut kegiatan itu sebagai gerakan solidaritas. Namun di balik layar, manuver ini—menurut sejumlah pejabat yang ditemui Tempo—bergerak sebagai “alat akumulasi pengaruh politik” di tengah dinamika internal pemerintahan yang kian mengeras menuju 2026.

Aroma Tekanan: Instruksi Tak Tertulis di Balik Kata “Koordinasi”

Beberapa pimpinan OPD mengaku menerima “pesan lanjutan” yang jauh lebih gamblang daripada undangan resminya. Nilai partisipasi disarankan, waktu penyetoran dipadatkan, dan jenis sumbangan diarahkan. “Kalau tidak ikut, takut dianggap tak loyal,” ujar seorang kepala bidang dari salah satu dinas.

Dari sektor usaha dan perbankan, suara serupa bermunculan. “Kami bukan menolak memberi bantuan. Tapi kenapa rasanya seperti kewajiban politik, bukan kemanusiaan?” kata seorang manajer bank daerah.

Fenomena ini bukan baru. Di banyak daerah, inisiatif solidaritas kerap dijadikan medium menunjukkan siapa yang patuh dan siapa yang tidak. Namun kali ini, pola itu terlihat terstruktur. Ada panitia inti yang bergerak cepat, ada notulen yang menekankan deadline, ada jalur komunikasi yang menegaskan bahwa “laporan ke pimpinan” akan dilakukan.

Gubernur di Tengah Panggung: Inisiatif Publik atau Konsolidasi Kekuasaan?

Di periode akhir masa jabatan, setiap langkah kepala daerah selalu dibaca dalam dua bingkai: kebijakan administratif dan manuver elektoral. Inisiatif penggalangan dana ini pun tak luput dari tafsir itu.

Pengumuman publik soal rapat, pelibatan tokoh-tokoh tertentu, hingga kesan bahwa semua lembaga “diminta tampil berkontribusi” membuat kegiatan ini tampak sebagai panggung yang menguntungkan pemerintah provinsi.

“Gerakan solidaritas memang bagus, tapi jangan sampai jadi panggung memoles citra sebelum kontestasi politik berikutnya,” ujar seorang analis kebijakan publik di Batam.

Tempo mencatat, beberapa pejabat dekat gubernur telah mulai aktif bergerak di lapangan, menghubungi asosiasi usaha dan jaringan komunitas. Beberapa bahkan mengirimkan foto dan dokumentasi kegiatan ke grup WhatsApp tertentu yang berisi para pendukung politik. “Seperti ingin memastikan semua orang tahu siapa yang memimpin aksi kemanusiaan ini,” kata seorang sumber internal partai.

Potensi Konflik Kepentingan: Ketika Dana Publik Bercampur Sentimen Politik

Penggunaan struktur pemerintahan (OPD, BUMD, lembaga vertikal, hingga bank milik negara) dalam sebuah kegiatan yang berpotensi menguntungkan secara politik adalah wilayah abu-abu yang berbahaya.

“Jika solidaritas publik dilakukan dalam situasi tertekan, atau dipolitisasi untuk menambah modal legitimasi pemerintah, itu sudah keluar dari etika administrasi,” kata seorang pakar kebijakan publik Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Apalagi, tidak ada mekanisme transparansi yang diumumkan secara terbuka:

berapa target donasi,

siapa pengumpul dana,

bagaimana prosedur audit,

ke mana bantuan akan dikirim,

dan siapa yang berwenang mengumumkan.

Tanpa transparansi, ruang abu-abu itu berubah menjadi risiko serius. “Di titik ini, kita harus bertanya: apakah ini solidaritas atau orkestrasi politik terselubung?” ujar pakar tersebut.

Publik Mulai Bertanya: Solidaritas Untuk Korban atau Loyalitas Untuk Kekuasaan?

Di media sosial, percakapan publik mulai bergerak ke arah skeptis. Warga mempertanyakan urgensi mengumpulkan dana lewat OPD dan BUMD, bukannya menggalang secara murni melalui lembaga kemanusiaan independen.

“Kalau pemerintah ingin membantu, gunakan anggaran. Kenapa pakai cara yang membuat bawahan dan dunia usaha merasa wajib?” tulis seorang warga Batam di X.

Beberapa ASN bahkan menyebut kegiatan ini sebagai “tes kesetiaan,” bukan aksi kemanusiaan. Tempo menemukan setidaknya tiga laporan internal yang mencatat bahwa tingkat partisipasi OPD akan “menjadi catatan evaluasi pimpinan.”

Sementara ribuan keluarga di Aceh, Sumut, dan Sumbar masih tinggal di tenda-tenda pengungsian, Kepri memanfaatkan momentum kemanusiaan ini dengan cara yang menimbulkan pertanyaan besar:
Apakah pemerintah sedang membantu korban bencana — atau sedang membangun narasi kepemimpinan?

Di atas kertas, ini gerakan mulia.
Di lapangan, jejak-jejaknya menunjukkan sesuatu yang lebih keras: solidaritas yang dikemas sebagai demonstrasi kekuasaan.

Dan jika itu benar, maka yang sedang terjadi bukan hanya penggalangan dana—melainkan konsolidasi politik berkedok kemanusiaan.

( Ns )

Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
Berita Terkait

MOHON DIBACA SEBELUM MENULIS BERITA

Berikut ini beberapa hal yang perlu dipertimbangkan saat menulis Berita :

- Perhatikan hukum:

Pastikan informasi yang Anda bagikan legal dan tidak mendukung ujaran kebencian, diskriminasi, kekerasan, atau aktivitas berbahaya lainnya.

 

- Hargai privasi:

Jangan bagikan informasi pribadi tentang orang lain tanpa persetujuan mereka. Ini termasuk nama, alamat, nomor telepon, dan detail sensitif lainnya.

 

- Pertimbangkan

dampaknya: Pikirkan tentang bagaimana kata-kata Anda dapat memengaruhi orang lain. Meskipun sesuatu secara teknis legal, itu mungkin menyakitkan atau menyinggung.

 

- Verifikasi informasi:

Sebelum membagikan informasi, terutama berita atau rumor, pastikan itu berasal dari sumber yang dapat dipercaya.

 

- Bertanggung jawab: Bertanggung jawablah atas informasi yang Anda bagikan. Bersiaplah untuk menjelaskan alasan Anda dan bertanggung jawab atas segala konsekuensi yang mungkin terjadi.

Ingat, membangun komunitas daring yang aman dan saling menghormati adalah tanggung jawab semua orang. Mari kita gunakan kebebasan berekspresi kita dengan bijak!