28.3 C
Jakarta
BerandaBertaTerisolasi di Tanah Linge: Seruan “Kirimkan Kami Kain Kafan” yang Mengguncang Moral...

Terisolasi di Tanah Linge: Seruan “Kirimkan Kami Kain Kafan” yang Mengguncang Moral Negara

 

Mediaistana.com. Aceh Tengah — Di Kampung Pantan Nangka, Linge, waktu seakan berhenti. Delapan hari pascabencana longsor dan banjir bandang yang meratakan akses dan memutus hubungan dengan dunia luar, warga terjebak dalam ruang sunyi tanpa suplai makanan, tanpa obat, tanpa kepastian hidup. Yang tersisa hanya ketabahan yang semakin menipis dan jeritan yang mulai terdengar seperti wasiat terakhir: “Kalau tidak ada makanan, kirimkan kami kain kafan saja.”

Kesaksian pahit itu muncul dari Aramiko, salah satu warga yang menyaksikan langsung bagaimana ketahanan komunitasnya tergerus hari demi hari. Bahan makanan habis. Ibu hamil melewati malam tanpa penerangan, orang tua menempuh puluhan kilometer hanya untuk mencari susu, dan anak-anak menunggu tanpa mengerti mengapa langit lebih sering membawa helikopter lewat dibanding harapan yang turun ke tanah.

Ketika Negara Hanya Melintas di Atas Kepala

Ironisnya, di tengah upaya warga membangun landasan pacu darurat dan menghidupkan genset dari sumbangan BBM pribadi, helikopter-helikopter bantuan justru hanya melintas tanpa mendarat. Langit di atas Pantan Nangka menjadi saksi paradoks akut: kehadiran negara terasa, tetapi kehadiran itu tidak pernah benar-benar menyentuh tanah.

Pengamat kebencanaan dari Universitas Syiah Kuala, Fadli Rahman, menilai situasi semacam ini merupakan “indikasi cacat koordinasi yang serius”. Menurutnya, penyaluran bantuan melalui udara seharusnya merupakan opsi yang paling cepat ketika akses darat terputus total.

“Jika landasan darurat sudah dibuat warga, lalu bantuan udara tetap tidak mendarat, ada dua kemungkinan: miskomunikasi struktural atau kelambanan pengambilan keputusan. Keduanya berbahaya, terutama di fase kritis 72 jam hingga hari ke-7,” ujarnya.

Kelompok Rentan di Ujung Ancaman: Ibu Hamil, Lansia, dan Bayi

Dalam kondisi terisolasi seperti ini, kelompok rentan menjadi pihak yang paling dekat dengan risiko kematian. Pengamat kebijakan publik dari Pusat Studi Aksesibilitas Nasional, Nirmala Dewi, menilai krisis Pantan Nangka menunjukkan absennya pendekatan prioritas berbasis kerentanan.

“Ibu hamil yang tidak mendapat nutrisi, lansia yang harus berjalan puluhan kilometer, anak yang tidak mendapat susu—ini bukan sekadar kegagalan distribusi logistik. Ini kegagalan membaca kebutuhan mendesak manusia,” katanya.

Menurutnya, tidak seharusnya warga mengeluarkan kalimat seterjal “kain kafan” untuk membuat negara mendengar.

Ketahanan Warga yang Dipaksa dan Keputusasaan yang Tak Terelakkan

Warga Pantan Nangka tidak tinggal diam. Mereka membangun jalur darurat roda dua di titik longsor, membuka akses minimal agar setidaknya sepeda motor dapat lewat. Namun upaya mandiri ini hanya memperlihatkan satu hal: ketika prosedur bencana lambat, rakyatlah yang menjadi sistem darurat itu sendiri.

Sosiolog pedesaan Aceh, Yusran Abdullah, menilai fenomena ini sebagai wajah baru “survivalisme sosial” di daerah terpencil.

“Yang terjadi di Linge bukan sekadar bencana alam, tetapi bencana sistemik. Ketahanan warga dipaksa melampaui batas karena negara belum hadir sepenuhnya. Ketika masyarakat sudah meminta kain kafan, itu adalah alarm moral tertinggi,” tegasnya.

Kesunyian di Tanah Linge dan Pertanyaan yang Menggantung

Akses menuju pusat kota Aceh Tengah masih sangat terbatas. Jalur darurat hanya bisa dilewati motor, itupun dengan risiko longsor susulan. Sementara itu, stok makanan di kampung semakin menipis, warga kelelahan membangun akses seadanya, dan waktu terus bergerak tanpa kepastian kapan bantuan riil akan mendarat.

Pertanyaan menggantung di udara yang sama dengan helikopter-helikopter yang hanya melintas:

Berapa banyak hari lagi yang harus dilalui sebelum bantuan benar-benar menyentuh tanah?

Dan lebih getir lagi:

Haruskah ada korban terlebih dahulu agar negara menganggap serius jeritan ini?

Dalam suara lirih Aramiko yang memecah kebisuan Linge—“Kirimkan kami kain kafan saja”—tersimpan sebuah dakwaan moral. Dakwaan terhadap lambannya respon, kaburnya koordinasi, dan rapuhnya jaring pengaman di sebuah wilayah yang kini bertaruh antara hidup dan mati, sendirian di tengah bencana.

( Ns )

Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
Berita Terkait

MOHON DIBACA SEBELUM MENULIS BERITA

Berikut ini beberapa hal yang perlu dipertimbangkan saat menulis Berita :

- Perhatikan hukum:

Pastikan informasi yang Anda bagikan legal dan tidak mendukung ujaran kebencian, diskriminasi, kekerasan, atau aktivitas berbahaya lainnya.

 

- Hargai privasi:

Jangan bagikan informasi pribadi tentang orang lain tanpa persetujuan mereka. Ini termasuk nama, alamat, nomor telepon, dan detail sensitif lainnya.

 

- Pertimbangkan

dampaknya: Pikirkan tentang bagaimana kata-kata Anda dapat memengaruhi orang lain. Meskipun sesuatu secara teknis legal, itu mungkin menyakitkan atau menyinggung.

 

- Verifikasi informasi:

Sebelum membagikan informasi, terutama berita atau rumor, pastikan itu berasal dari sumber yang dapat dipercaya.

 

- Bertanggung jawab: Bertanggung jawablah atas informasi yang Anda bagikan. Bersiaplah untuk menjelaskan alasan Anda dan bertanggung jawab atas segala konsekuensi yang mungkin terjadi.

Ingat, membangun komunitas daring yang aman dan saling menghormati adalah tanggung jawab semua orang. Mari kita gunakan kebebasan berekspresi kita dengan bijak!