PELALAWAN – RIAU | Awan gelap kembali menyelimuti tata kelola pertanahan di Riau. Tim Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tipikor Riau menemukan indikasi kuat adanya praktik mafia tanah di kawasan perbatasan Desa Kuala Panduk dan Desa Pangkalan Terap, Kabupaten Pelalawan.
Ketua Satgasus KPK-Tipikor Riau, julianto, mengungkap bahwa timnya mendapati aktivitas pembukaan lahan secara masif dengan menggunakan alat berat, meliputi area seluas sekitar 300 hektare. Aktivitas tersebut mengemuka melalui dalih kepemilikan surat tanah yang diklaim atas nama masyarakat desa.
Namun, setelah ditelusuri, banyak warga justru mengaku tidak pernah memberikan kuasa ataupun mengetahui adanya klaim tersebut.
“Kami menduga ada jaringan terstruktur yang memanipulasi data kepemilikan untuk meraup keuntungan pribadi. Praktik seperti ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga menyinggung aspek moral dan keadilan sosial,” tegas julianto saat memberikan keterangan di lokasi, Selasa (23/9/2025).
Temuan Satgasus ini menjadi potret ironis di tengah upaya pemerintah memperketat pengawasan terhadap lahan-lahan ilegal di wilayah lain, seperti Taman Nasional Tesso Nilo. Sementara di Kuala Panduk, kegiatan eksploitasi lahan justru terus berlanjut tanpa hambatan berarti seolah hukum kehilangan daya cegahnya.
Lebih lanjut, julianto menjelaskan bahwa informasi awal mengarah pada keterlibatan perusahaan swasta yang mengelola lahan tersebut. Satgasus pun mendesak agar pihak perusahaan segera membuka data legalitas dan dokumen perizinan yang mereka miliki, termasuk klarifikasi atas penggunaan nama masyarakat dalam klaim kepemilikan lahan.
Satgasus KPK-Tipikor Riau juga menyerukan agar aparat penegak hukum di tingkat daerah—Kapolda, Kajati, dan Bupati Pelalawan—menunjukkan komitmen nyata dalam menindaklanjuti temuan ini.
“Kami meminta agar langkah hukum segera diambil. Ini bukan sekadar soal kepemilikan tanah, melainkan soal tanggung jawab terhadap masa depan lingkungan dan keadilan masyarakat,” ujar julianto.
Kasus ini tidak hanya menyingkap potensi penyalahgunaan kewenangan, tetapi juga mengundang keprihatinan terhadap kerusakan ekologis yang ditimbulkan. Pembukaan lahan skala besar di wilayah penyangga lingkungan berpotensi menimbulkan degradasi ekosistem, konflik agraria, serta kerugian sosial yang tak terhitung.
Laporan Satgasus ini menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah dan pusat. Diperlukan langkah preventif dan reformasi sistem pengawasan pertanahan agar nama masyarakat tidak lagi dijadikan tameng untuk praktik koruptif yang merusak keadilan dan keberlanjutan lingkungan.***