Media istana.com – Sebuah temuan investigasi dari Kepala Staf Kepresidenan (KSP) mengungkap fakta mencengangkan yang diduga menjadi akar masalah maraknya kasus keracunan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Dari total 8.583 Dapur atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang beroperasi, hanya 34 dapur yang memiliki Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) hingga 22 September 2025.
Artinya, 99,6% atau 8.549 dapur lainnya menjalankan operasinya tanpa bukti formal yang menjamin standar keamanan dan kebersihan pangan. Temuan ini mempertanyakan akuntabilitas dan efektivitas pengawasan dalam program prioritas pemerintah tersebut.
“Jadi singkatnya, SPPG itu harus punya SLHS dari Kemenkes sebagai upaya mitigasi dan pencegahan keracunan pada program MBG,” tegas Kepala KSP, Muhammad Qodari, Senin (22/9/2025), dalam siaran pers yang seolah mengonfirmasi lemahnya penjaminan mutu selama ini.
SLHS: Dari Sekadar Syarat Administratif Menjadi Kewajiban Hukum
Temuan KSP ini memaksa pemerintah mengambil langkah tegas. Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), secara terang-terangan mengakui bahwa penegakan standar sebelumnya tidak optimal.
“Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (dulu hanya) syarat, tetapi pasca kejadian (keracunan MBG belakangan) harus atau wajib hukumnya setiap SPPG harus punya SLHS,” ujar Zulhas dalam konferensi pers, Minggu (28/9/2025).
Pernyataan Zulhas ini menyiratkan adanya perubahan paradigma yang dipicu oleh insiden. SLHS yang semula mungkin hanya dipandang sebagai dokumen pelengkap, kini diangkat sebagai syarat mutlak yang wajib dipenuhi. Pemerintah melalui juru bicara Charles juga menegaskan bahwa dapur yang belum memiliki SLHS tidak boleh beroperasi sampai memenuhi standar.
Langkah Darurat dan Pertanyaan yang Masih Menggantung
Menanggapi krisis ini, pemerintah pun menggelar rapat koordinasi dan merancang sejumlah langkah darurat. Selain SLHS, dua sertifikasi lain—HACCP (untuk analisis bahaya keamanan pangan) dan Sertifikat Halal—akan diterapkan sebagai standar wajib operasional SPPG, dengan pengakuan dari BPOM.
“Kami juga sudah membahas bagaimana ada akselerasi dari sisi masing-masing penerbit sertifikasi agar prosesnya bisa cepat,” kata Budi dari Kemenkes, menegaskan komitmen percepatan.
Baca Juga : Prabowo Bentuk Tim Koordinasi MBG
Namun, langkah-langkah reaktif ini justru memunculkan pertanyaan investigatif yang mendasar: Mengapa ribuan dapur ini bisa beroperasi tanpa SLHS sejak awal? Siapa yang seharusnya bertanggung jawab memastikan pemenuhan syarat ini sebelum dapur-dapur tersebut mulai memasak dan mendistribusikan makanan kepada puluhan ribu penerima manfaat?
Akuntabilitas untuk memastikan ini terletak pada pemerintah daerah dan Kementerian Kesehatan sebagai pemberi izin dan pembina. Temuan KSP ini mengisyaratkan adanya kelalaian sistemik dalam proses pengawasan dan pembinaan, yang pada ujungnya membahayakan kesehatan masyarakat.
Kini, upaya percepatan sertifikasi dan pengawasan harian oleh Badan Gizi Nasional (BGN) menjadi ujian bagi pemerintah untuk memulihkan kepercayaan publik. Masyarakat menunggu tidak hanya janji, tetapi juga transparansi dan tindakan nyata agar tragedi keracunan tidak lagi terulang.