Mediaistana.com | Jakarta – Revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (RUUK) menjadi urgensi nasional. Para aktivis lingkungan dan pakar hukum mendesak perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan: dari pendekatan warisan kolonial yang memposisikan negara sebagai pemilik tunggal, menuju pengakuan penuh terhadap hak masyarakat adat dan lokal sebagai penjaga hutan sejati.
Tiga Pilar Revisi UU Kehutanan
Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia menekankan tiga landasan utama dalam revisi ini:
1. Mengakhiri Paradigma Kolonial
Negara tak boleh lagi menjadi satu-satunya pihak yang mengklaim kawasan hutan. Klaim Kementerian Kehutanan atas 106 juta hektare kawasan hutan dinilai sewenang-wenang, mengabaikan hak-hak masyarakat adat, serta bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45 Tahun 2011. Penetapan kawasan hutan yang terus membengkak tanpa transparansi memperkuat urgensi revisi.
2. Menolak Kamuflase “Pembangunan Berkelanjutan”
Program seperti food estate dan transisi energi tak boleh menjadi kedok perampasan wilayah adat dan perusakan hutan. Pembangunan sejati harus berpihak pada lingkungan dan masyarakat yang hidup dari dan bersama hutan.
3. Melaksanakan Putusan MK Secara Utuh
RUUK harus memuat implementasi Putusan MK Nomor 34, 35, 45, dan 95—yang menegaskan perlindungan hak masyarakat adat dan menolak pengukuhan kawasan hutan serta perizinan ekstraktif yang tak berpihak pada keadilan sosial dan ekologis.
Dukungan dan Seruan Para Pihak
Riyono, Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, menyatakan dukungan terhadap revisi UU Kehutanan yang berpihak pada masyarakat adat dan menghormati putusan MK.
Perwakilan WALHI dari berbagai daerah (Kalsel, Kalbar, Kaltara, Aceh, Papua, Jambi, Gorontalo, Maluku, dan Malut) menyoroti dampak buruk eksploitasi hutan: konflik lahan, perusakan lingkungan, dan hilangnya ruang hidup masyarakat adat. Mereka menuntut pengakuan hak-hak adat, penerapan prinsip PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan), serta penghentian proyek-proyek destruktif yang mengatasnamakan pembangunan.
Akademisi seperti Dr. Andi Chairil Ichsan (Universitas Mataram) dan Dessy Eko Prayitno (Universitas Indonesia) menegaskan pentingnya paradigma baru dalam tata kelola hutan—berbasis keadilan, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Kesimpulan
Revisi UU Kehutanan adalah langkah krusial untuk memperbaiki tata kelola hutan di Indonesia. Menghapus warisan kolonial, mengakui kedaulatan masyarakat adat, serta mewujudkan sistem yang adil dan inklusif menjadi syarat mutlak untuk mencapai keadilan ekologis. Tanpa perubahan mendasar ini, Indonesia berisiko gagal memenuhi target pengurangan emisi dan akan terus terjebak dalam konflik dan krisis ekologis.
(red)