Sumedang, mediaistana.com —
Di tengah sejuknya udara malam Sumedang, suara gamelan dan petikan tarawangsa terdengar lembut dari pendopo kecil di tepi sawah. Seolah mengingatkan bahwa di tanah inilah, budaya Sunda pernah tumbuh subur—dan kini berusaha dihidupkan kembali lewat sebuah gagasan besar: Kampung Budaya Sumedang Larang.
Rencana pembangunan kampung budaya ini datang dari Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, yang mengajak seluruh kabupaten dan kota menghadirkan kembali kehidupan masyarakat Sunda dalam bentuk nyata, bukan sekadar pertunjukan. Ia ingin setiap daerah memiliki ruang budaya yang merepresentasikan kehidupan masa lalu dalam wajah kekinian.
“Saya ingin membangun kampung budaya yang bukan hanya tempat wisata, tapi tempat hidupnya nilai-nilai Sunda: gotong royong, sopan santun, dan harmoni dengan alam,” ujar Dedi Mulyadi dalam acara Nata Awaruga Jagat Medal Gapura Ekosistem Budaya Kasumedangan, Rabu (29/10) malam.
Kampung Budaya Sumedang Larang akan dibangun dengan 200 rumah bergaya arsitektur khas Sumedang, di mana pengunjung bisa melihat langsung aktivitas warga seperti menanam padi, membuat tahu Sumedang, menenun, hingga membuat opak tradisional. Di malam hari, denting lembut tarawangsa akan menjadi irama yang menutup hari.
Membangun Kembali “Rasa” Sunda
Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir menyambut ajakan KDM itu dengan antusias. Ia menyebut, Sumedang memang sudah lama ditetapkan sebagai “Puseur Budaya Sunda” melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2021.
“Sumedang adalah pusat budaya Sunda. Nilai-nilai budaya harus menjadi etos kerja dan cara hidup masyarakat,” ujarnya.
Bagi Dony, kampung budaya bukan sekadar proyek fisik, tapi cara mengembalikan “rasa” Sunda dalam keseharian warga. Ia berharap, proyek ini bisa menjadi ruang hidup baru bagi seniman, pengrajin, dan petani lokal.
Suara dari Kampung
Di Desa Cipamekar, salah satu lokasi yang diusulkan untuk kampung budaya, Ibu Tati (52), pembuat tahu tradisional, menyambut rencana itu dengan harapan besar.
“Kalau nanti banyak orang datang lihat cara kami bikin tahu, ya alhamdulillah. Bisa nambah rezeki, tapi juga bikin orang tahu kalau tahu Sumedang itu bukan cuma makanan, tapi bagian dari sejarah,” tuturnya sambil tersenyum.
Sementara itu, Asep (34), pemain tarawangsa muda, berharap kampung budaya bisa menjadi ruang regenerasi bagi kesenian tradisional yang mulai ditinggalkan.
“Anak-anak muda sekarang jarang mau belajar tarawangsa. Kalau nanti ada kampung budaya, kami bisa tampil rutin dan ngajarin mereka. Supaya budaya ini gak cuma jadi kenangan,” katanya.
Menjaga yang Lama, Menyapa yang Baru
KDM menegaskan, kampung budaya ini akan dibangun dengan konsep ekosistem kehidupan Sunda: menyatukan manusia, alam, dan nilai budaya. Ia juga mendorong agar konsep desa adat dihidupkan kembali — kepala desa bisa dipilih melalui musyawarah adat, bukan hanya politik elektoral.
Bagi masyarakat Sumedang, langkah ini bisa menjadi momentum penting untuk memperlihatkan bahwa budaya Sunda bukan sekadar pakaian adat atau seremoni, tapi sistem kehidupan yang bisa beradaptasi dengan zaman.
“Kampung budaya ini harus jadi tempat di mana budaya tidak sekadar ditonton, tapi dijalani,” ujar KDM.
Budaya yang Hidup, Bukan Sekadar Dipamerkan
Rencana ini memang masih dalam tahap awal, tetapi semangat warga dan pemerintah daerah tampak seirama. Sumedang tidak ingin budayanya berhenti di panggung pertunjukan, tetapi mengalir kembali dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti tahu yang digoreng hangat setiap pagi di pasar, atau alunan tarawangsa yang menenangkan jiwa saat malam tiba — budaya Sunda hidup karena dijalani, bukan sekadar dikenang.