Lampung Barat — Proses penyitaan dan penguasaan kembali lahan kawasan hutan negara oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) Kejaksaan Agung RI di wilayah Pekon Sidomulyo, Kecamatan Pagar Dewa, Kabupaten Lampung Barat, menghadapi hambatan serius berupa penghalangan dan penolakan dari sekelompok masyarakat.(31/07/2025)
Ironisnya, aksi penghalangan dan penolakan tersebut diduga kuat dipicu oleh provokasi dari dua oknum pejabat publik, yakni Peratin Sidomulyo dan Wakil Ketua I DPRD Lampung Barat. Keduanya dikabarkan mengklaim memiliki Peta dan Surat Keputusan (SK) Gubernur Lampung sebagai dasar legalitas atas penguasaan lahan yang sebenarnya berada di dalam kawasan hutan negara dan tengah dalam proses penyitaan oleh negara melalui Satgas PKH.
Kedua nama ini bukan sosok baru dalam isu dugaan penguasaan kawasan hutan. Mereka justru sebelumnya telah dilaporkan oleh Aktivis Germasi ke Satgas PKH Kejaksaan Agung RI atas Dugaan Indikasi Alih Fungsi, Penguasaan Lahan, Dan Perusakan Kawasan Hutan Lindung Register 43B Krui Utara Kab. Lampung Barat Provinsi Lampung dan Kawasan Hutan Suaka Margasatwa Gunung Raya Kab. OKU Selatan Provinsi Sumatera Selatan.
Founder Germasi, Ridwan Maulana, C.PL., CDRA, mengingatkan bahwa upaya menghalangi proses penegakan hukum sama dengan melawan negara.
“Jangan sampai penegakan hukum dilumpuhkan oleh kekuasaan lokal. Ini bentuk perlawanan terhadap negara. Kami menduga kuat ada indikasi provokasi terstruktur agar masyarakat menghalangi tugas aparat. Mereka berlindung di balik SK Gubernur, padahal status kawasan ini jelas merupakan Hutan Lindung dan Suaka Margasatwa,” tegas Ridwan.
Sementara itu, Kuasa Hukum Germasi, Hengki Irawan, SH., MH., menyebut tindakan menghalangi aparat Satgas PKH sebagai bentuk perintangan terhadap proses hukum.
“Menghalangi penyitaan dan penegakan hukum oleh aparat negara adalah bentuk obstruction of justice—perbuatan pidana yang serius. Tidak ada alasan, termasuk dalih peta atau SK Gubernur, yang bisa melegalkan penguasaan kawasan hutan negara secara ilegal,” ujar Hengki.
Ia menambahkan, SK Gubernur tidak bisa dijadikan dasar hukum sah untuk menguasai wilayah yang berstatus Kawasan Hutan negara, apalagi kawasan Hutan lindung dan Suaka Margasatwa. Menurutnya, tindakan kedua oknum pejabat tersebut bisa dikategorikan sebagai kejahatan ganda—yakni penguasaan ilegal kawasan hutan dan perintangan proses hukum.
“Kalau negara sudah turun tangan lewat Satgas PKH Kejagung, tapi masih juga dihadang oleh pejabat daerah, itu tidak bisa ditoleransi. Kami mendesak agar Kejaksaan Agung RI bertindak tegas,” imbuh Hengki.
Aktivis Germasi juga mendorong agar peristiwa ini menjadi pintu masuk pembongkaran jaringan mafia tanah dan hutan di Lampung Barat. Apalagi, penguasaan kawasan di Register 43B dan Suaka Margasatwa Gunung Raya diduga telah berlangsung lama dan terlindungi oleh kekuatan politik lokal.
Hingga kini, pihak Satgas PKH Kejagung RI belum mengeluarkan pernyataan resmi pasca-insiden penghadangan tersebut. Namun, sumber internal menyebutkan bahwa Kejagung tengah menyelidiki kemungkinan adanya tindak pidana tambahan terhadap para pelaku penghalangan, termasuk dugaan keterlibatan aktor politik di balik konflik penguasaan kawasan hutan tersebut.
(IF)