Kritik Interseksional terhadap RKUHAP: Menuju Hukum Acara yang Adil dan Inklusif bagi Perempuan di Indonesia.
Oleh: Novi Enjelina Putri SH MH
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang sedang dibahas secara nasional bukan sekadar pembaruan teknis dalam sistem peradilan pidana, tetapi merupakan momen krusial untuk menilai kembali nilai-nilai keadilan, hak asasi manusia, dan representasi dalam hukum. Dalam konferensi nasional bertajuk “Hukum dalam Pendedahan Pilar Indonesia Emas di Tengah Tantangan Nasional dan Global” di Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR), Bandung, 15 September 2025, dosen hukum Universitas Teknologi Surabaya, Novi Enjelina Putri, menghadirkan kajian yang menarik dan mendalam: *Hukum Acara dan Ketidakadilan Gender: Kritik Interseksional terhadap RKUHAP di Indonesia*. Karya ini bukan sekadar menggugat aspek gender dalam hukum acara, melainkan mengundang refleksi mendalam tentang bagaimana sistem hukum yang terkesan netral justru sering kali memperkuat struktur ketimpangan yang kompleks — termasuk ras, kelas, dan status sosial.
Dalam pandangan Novi Enjelina Putri, RKUHAP masih mengandung bias tersembunyi yang mengabaikan realitas kehidupan perempuan, terutama mereka dari latar belakang marginal: korban kekerasan berbasis gender, atau perempuan yang berkonflik dengan hukum. Kritik interseksional yang dianut dalam tulisan ini menunjukkan bahwa ketidakadilan gender dalam hukum acara tidak dapat dipahami secara tunggal. Setiap perempuan mengalami perlakuan berbeda tergantung pada kombinasi identitas sosialnya — seorang ibu satu anak yang menjadi tersangka kasus kecil, misalnya, akan menghadapi proses hukum yang jauh berbeda dibandingkan laki-laki dengan latar belakang ekonomi yang sama. Namun, dalam proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan, keunikan pengalaman ini sering diabaikan. Sistem yang masih mengandalkan narasi klasik tentang “pelaku” dan “korban” tanpa mempertimbangkan dinamika budaya, psikologis, dan keberlanjutan hidup perempuan, justru memperburuk marginalisasi mereka.
Salah satu tantangan terbesar adalah dalam proses penahanan dan kondisi lembaga pemasyarakatan. Data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Indonesian Commission on Human Rights (Komnas HAM) menunjukkan bahwa perempuan dalam tahanan sering kali menghadapi risiko kekerasan seksual, pembatasan akses kesehatan reproduksi, dan kurangnya perlindungan terhadap anak yang meraka bawa. Namun, ketentuan dalam RKUHAP masih minim menyentuh aspek ini secara spesifik. Bahkan, pasal-pasal yang menyangkut penangkapan, penggeledahan, dan penahanan sering kali ditulis dalam bahasa yang absolut dan tanpa mempertimbangkan konteks hidup perempuan yang rentan dan rentan terhadap stigmatisasi sosial.
Kajian Novi juga mengkritik pendekatan yang berbasis pada “rasionalitas formal” dalam hukum acara, yang secara sistemik mengabaikan pengalaman subjektif perempuan. Sebagai contoh, sistem pemeriksaan saksi perempuan sering kali mengabaikan trauma psikologis yang mereka alami, terutama dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan seksual. Kehadiran psikolog, penerjemah bahasa isyarat, atau proses interogasi berbasis trauma tidak dijamin oleh RKUHAP saat ini. Ini menunjukkan bahwa hukum acara yang seharusnya menjamin keadilan justru sering kali menjadi alat yang memperbesar kerentanan perempuan.
Namun, di tengah kritik tajam ini, ada harapan. Kritik interseksional yang dilakukan Novi Enjelina Putri bukan sekadar destruksi, melainkan konstruksi alternatif — yaitu desain hukum acara yang benar-benar inklusif dan responsif terhadap keberagaman pengalaman manusia. Rekomendasi bernilai akademik dan praktis dari kajiannya mencakup: integrasi pengaturan dan penanganan Interseksional yang berpihak pada pengalaman perempuan dalam seluruh prosedur hukum acara; penerapan peraturan khusus untuk penanganan kasus yang melibatkan perempuan korban kekerasan; pembentukan forum peradilan khusus perempuan; serta penguatan kapasitas aparat penegak hukum dalam pendekatan berbasis trauma perempuan dan hak asasi manusia.
Begitu pula, penting untuk mencatat bahwa kritik ini bukan berarti menolak seluruh RKUHAP, melainkan menuntut bahwa proses revisi harus melibatkan akademisi, aktivis HAM, dan komunitas perempuan dalam proses pengambilan kebijakan. Inisiatif seperti “FH dan PERSADA Kawal RKUHAP 2025” yang digerakkan oleh akademisi dari berbagai perguruan tinggi, menunjukkan bahwa kritik akademik bukanlah kebuntuan, melainkan jalan menuju hukum yang lebih adil.
Dengan menghadirkan kajian bernas dari Novi Enjelina Putri, Indonesia memiliki kesempatan emas untuk tidak hanya merevisi KUHAP, tetapi juga membangun sistem hukum yang berakar pada keadilan substantif — bukan hanya keadilan formal. Di tengah mimpi “Indonesia Emas”, hukum harus berubah menjadi alat yang tidak hanya menyelesaikan konflik, tetapi juga membangun kembali keadilan sosial, khususnya bagi mereka yang selama ini terpinggirkan. Hukum acara yang adil adalah cerminan dari sebuah masyarakat yang juga adil. Dan untuk mencapainya, kita harus mulai dari kritik yang berani, akademik, dan interseksional.