mediaistana.com. Batam — Sengketa Faizal dengan PT Allbest Marine kini berkembang menjadi gambaran paling telanjang tentang betapa rapuhnya perlindungan tenaga kerja di Batam. Alih-alih menemukan penyelesaian cepat melalui mekanisme formal, Faizal justru terperangkap dalam labirin birokrasi, ancaman pidana silang, dan ketimpangan kekuasaan yang terus menekan posisi pekerja. Yang tersisa hanyalah pertanyaan dasar yang seharusnya mudah dijawab negara: apakah keadilan benar-benar dapat diakses oleh mereka yang paling rentan?
Permohonan tripartit yang diajukan Faizal ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Batam pada 4 Desember menjadi titik pertama dari serangkaian ketidakpastian. Seorang mediator Disnaker yang ditemui hanya menjelaskan bahwa proses tersebut “memiliki tahapan administratif yang menyita waktu,” sebuah jawaban yang secara faktual benar, namun justru memperlihatkan bagaimana prosedur dapat berdiri tanpa kepekaan terhadap urgensi. Waktu, bagi pekerja yang kehilangan pendapatan dan dihimpit tekanan psikologis, bukanlah sekadar kalender — tetapi faktor penentu hidup.
Pakar hukum perburuhan dari Universitas Andalas mengingatkan bahwa penundaan mediasi bukan hanya soal administrasi, melainkan soal mengikis daya tawar pekerja. Ketika proses lamban, perusahaan mendapatkan ruang untuk menguatkan posisinya, sementara pekerja semakin tenggelam dalam ketidakpastian. Ia menegaskan bahwa mediator harus mampu membaca konteks sosial, bukan sekadar menjalankan SOP yang kaku. Tanpa itu, mediasi akan berubah menjadi ruang hampa: formal, tetapi tanpa bobot keadilan.
Dinamika yang lebih mengkhawatirkan justru muncul sebelum tripartit diajukan. Pihak perusahaan sebelumnya disebut menyarankan agar persoalan dibawa ke tripartit, namun ketika Faizal mengungkap adanya kemungkinan unsur pidana dalam proses PHK-nya, kuasa hukum perusahaan langsung mengeluarkan ancaman: silakan laporkan, tetapi bila tidak terbukti, kami melaporkan balik.
Menurut pakar hukum ketenagakerjaan Universitas Pancasila, respons semacam itu adalah taktik penggentar yang kerap dipakai ketika perusahaan ingin mengendalikan arah perkara sejak awal. Ancaman pidana balik tidak melanggar hukum, tetapi memiliki efek psikologis yang sangat besar. Di balik bahasa legalnya, tersimpan pesan jelas: jangan macam-macam, kami punya sumber daya untuk menghancurkan balik. Ketika relasi kuasa tidak seimbang, ancaman hukum menjadi senjata paling efektif untuk menekan pihak yang lebih lemah.
Ahli hukum pidana dari Institut Hukum Nasional menegaskan bahwa unsur pidana dalam sengketa industrial tidak dapat dianggap enteng. Bila benar ada pemalsuan alasan PHK, manipulasi dokumen, atau intimidasi dalam proses pemberhentian, ranah pidana justru harus menjadi jalan penegakan hukum. Namun ia juga mengakui bahwa ancaman kriminalisasi balik adalah pola lama yang memanfaatkan ketakutan pekerja terhadap proses hukum pidana yang melelahkan dan panjang. Di titik ini, pendampingan hukum bukan lagi opsi — melainkan kebutuhan untuk bertahan.
Penjelasan dari pemerhati hukum ketenagakerjaan memperkuat gambaran bahwa tindakan PHK sepihak yang dialami Faizal dapat berimplikasi serius. PHK sepihak pada prinsipnya batal demi hukum, dan perusahaan wajib memulihkan hubungan kerja serta memenuhi seluruh hak pekerja sesuai UU Cipta Kerja dan PP 35/2021. Bila terdapat unsur penipuan, rekayasa alasan, atau tindakan melawan hukum lainnya, sanksi pidana dapat menyentuh oknum perusahaan. Dengan demikian, persoalan ini tidak hanya berada pada ranah administrasi — tetapi berpotensi menjadi perkara yang jauh lebih besar.
Di tengah tekanan tersebut, Faizal mencoba membuka jalur advokasi politik dengan mengajukan permohonan Rapat Dengar Pendapat (RDP) ke DPRD Batam. Langkah ini tidak lazim dilakukan pekerja pada tahap awal, tetapi mencerminkan kekhawatiran bahwa mekanisme formal tak lagi memadai. Didampingi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), Faizal berupaya memastikan bahwa ia tidak berjalan sendirian dalam ruang sengketa yang semakin tidak setara.
Namun sampai saat ini, Disnaker hanya memberi pernyataan normatif bahwa mereka “akan mengawal proses sesuai kewenangan.” Kesan pasif ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keberpihakan negara ketika berhadapan dengan kasus yang mempertemukan pekerja dengan struktur modal yang jauh lebih kuat. Ketika lembaga yang seharusnya menjadi penyangga keadilan memilih menjadi penonton, ketidakadilan menemukan ruang untuk tumbuh.
Sengketa Faizal kini berada dalam pusaran yang tidak lagi sekadar administratif. Ia berhadapan dengan ancaman pidana silang, proses mediasi yang tak kunjung bergerak, dan dinamika kekuasaan yang sarat tekanan. Kasus ini mencapai titik di mana pertanyaan utamanya bukan lagi apakah Faizal bersalah atau tidak, tetapi apakah negara mampu memastikan bahwa pembuktian dilakukan secara jujur, transparan, dan bebas dari tekanan struktural.
Pada akhirnya, perjalanan Faizal adalah cermin lebih besar tentang wajah hubungan industrial di Batam — sebuah medan yang diwarnai ketimpangan tajam antara buruh dan pemilik modal. Selama negara hanya berdiri di pinggir, membiarkan prosedur berjalan tanpa keberpihakan pada keadilan substantif, cerita-cerita seperti Faizal akan terus berulang: pekerja yang dipaksa bertarung sendirian dalam sistem yang lebih sering mengabdi kepada kekuatan modal daripada kepada kebenaran.
[ Ns ]