OPINI | Pendidikan Nasional dan Krisis Sosok Teladan dalam Kasus Penusukan Guru oleh Siswa di Sulbar
Oleh: Fitro Dg Rewa (Seorang Guru yang Peduli dengan Pendidikan dan Isu Sosial)
TOMONI, LUTIM – Peristiwa penusukan seorang guru oleh siswanya sendiri di sebuah sekolah menengah kejuruan di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, kembali mengguncang dunia pendidikan nasional. Seorang siswa berusia 17 tahun datang ke sekolah dalam kondisi mabuk, membawa senjata tajam, dan secara tragis menikam guru yang hendak melerai perselisihan antarsiswa.
Insiden yang terjadi pada Selasa (29/7/2025) itu, bukan semata persoalan kriminalitas remaja. Ia merupakan cerminan dari persoalan yang lebih mendalam: lemahnya pengawasan sosial, krisis keteladanan, dan belum optimalnya penanaman nilai-nilai dalam sistem pendidikan nasional.
Pendidikan Karakter: Gagal di Titik Krusial
Pendidikan di Indonesia seharusnya tidak hanya berorientasi pada pencapaian kognitif semata. Sistem pendidikan nasional yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 secara jelas bertujuan “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia seutuhnya yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.”
Namun, fakta di lapangan justru memperlihatkan bahwa aspek karakter dan moral belum menjadi perhatian utama dalam praktik pendidikan. Bagaimana seorang remaja bisa datang ke lingkungan sekolah dalam kondisi mabuk dan membawa senjata tajam, jika nilai-nilai etika telah benar-benar tertanam sejak dini?
Sosok teladan bagi remaja kian samar. Orang tua sibuk bekerja, guru dibebani administrasi, dan masyarakat terkesan abai terhadap pergaulan anak-anak muda. Akibatnya, ruang-ruang pembentukan karakter tergantikan oleh pengaruh negatif dari lingkungan luar, termasuk alkohol dan kekerasan.
Dalam kasus Pasangkayu, minuman keras jenis “cap tikus” menjadi pemicu utama tindakan brutal siswa terhadap gurunya. Ini adalah peringatan serius tentang bagaimana remaja dapat kehilangan kendali tanpa kehadiran figur pembina dan lingkungan yang mendukung.
Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman, nyaman, dan penuh kasih dalam proses belajar-mengajar. Guru adalah figur teladan dan pelindung di ruang kelas. Jika sampai seorang guru diserang secara fisik oleh muridnya sendiri, itu berarti ada kegagalan sistemik yang tidak bisa dianggap remeh.
Langkah cepat pihak kepolisian dan rencana penyuluhan ke sekolah memang patut diapresiasi. Namun, upaya itu seharusnya tidak hanya muncul ketika kejadian tragis telah terjadi. Pendidikan karakter dan pembinaan sikap harus dibangun sebagai sistem jangka panjang.
Butuh Kerja Sama Semua Pihak
Pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, melainkan juga keluarga dan masyarakat. Orang tua harus terlibat aktif dalam membentuk perilaku anak-anaknya. Sekolah harus meningkatkan pengawasan dan pendekatan konseling terhadap siswa yang bermasalah. Masyarakat juga harus ikut menjaga lingkungan dari potensi kerusakan moral.
Kasus di Sulbar ini adalah momentum refleksi bahwa kita tidak bisa terus mengabaikan krisis nilai dan keteladanan yang menggerogoti generasi muda.
“Penulis adalah guru dan pemerhati isu sosial yang aktif menyuarakan pentingnya pendidikan karakter di sekolah dan lingkungan masyarakat.”