29.5 C
Jakarta
BerandaInfo“Tuhan, Kamera, dan Klik: Ketika Wartawan Lupa Menjadi Wartawan”

“Tuhan, Kamera, dan Klik: Ketika Wartawan Lupa Menjadi Wartawan”

Mediaistana.com
Di negeri ini, yang cepat lebih dipercaya ketimbang yang benar. Dan wartawan, dengan lencana ‘media’ di dada, kadang ikut bersujud pada dewa baru: viralitas.

Kalau semiotika mengajarkan kita bahwa setiap tanda mengandung makna, maka dalam dunia jurnalistik hari ini, berita bukan lagi ‘fakta’ tapi ‘kode’. Kode yang dibentuk oleh rating, trafik, dan selera netizen yang lapar akan sensasi. Judul bukan lagi pembuka wacana, tapi umpan pancing. Foto bukan lagi ilustrasi, tapi pemicu emosi. Dan wartawan? Kadang bukan lagi pengurai, tapi pelipat-lipat realitas.

Dunia media kini serupa panggung sandiwara semiotik, tempat makna dipertontonkan seperti wayang: siapa yang menggoyang emosi lebih cepat, dialah yang dianggap kredibel. Wartawan yang dulu berjarak demi menjaga objektivitas, kini justru menyatu dalam alur, menjadi bagian dari ‘cerita’, bahkan kadang menjadi ‘pemain utama’. Kamera berubah jadi altar. Narasi jadi kitab suci baru. Dan klik adalah kiblatnya.

1. Konstruktivisme: Alat atau Dalih?

Dalam teori konstruktivisme, kita tahu bahwa realitas sosial tidak hadir secara utuh; ia dikonstruksi. Dan dalam kerja jurnalistik, konstruksi ini tidak terhindarkan. Tapi di tangan yang salah, konstruktivisme bukan alat kritis, melainkan dalih cuci tangan. Lihatlah, bagaimana berita-berita hari ini dibentuk bukan oleh disiplin verifikasi, tapi oleh nafsu engagement. Wartawan yang menulis dengan marah, seolah sedang membalas dendam masa lalu yang tak selesai. Yang menyusun laporan dengan air mata, seolah sedang curhat di buku harian. Kita dipertontonkan bukan berita, tapi luka pribadi yang dikemas dalam standar jurnalistik seadanya.

2. Simbol, Emosi, dan Ilusi Objektivitas

Wartawan modern kerap menyisipkan simbol:Kutipan dramatis, sapaan khas korban, bahkan intonasi editorial yang tak lagi halus. Di balik itu semua, tersembunyi emosi dan emosi ini menyusup ke dalam teks seperti asap. Kita tidak membaca peristiwa, tapi ikut merasa. Ini bukan empati, ini pengaburan. Wartawan jadi produsen rasa, bukan penjaga logika.Dan seperti yang diajarkan Barthes, setiap simbol adalah pembawa mitos. Maka berita pun kini sarat mitos: mitos korban yang selalu suci, mitos penguasa yang selalu salah, mitos netralitas yang sebenarnya penuh kepentingan. Objektivitas? Hanya ilusi yang dijual murah.

3. Idelaisme Jurnalistik: Museum yang Sepi

Di buku teks, wartawan adalah penjaga fakta. Tapi di ruang redaksi hari ini, idealisme itu jadi benda fosil. Jarang disentuh. Apalagi dijalankan.

Redaktur lebih pusing memikirkan judul yang ‘nendang’, ketimbang apakah berita itu fair. Wartawan lapangan berlomba kirim first draft ke WhatsApp grup sebelum sempat bertanya satu narasumber pun. Buru-buru tayang, lalu disebar ke Instagram Story. Penuh rasa, miskin data.

4. Ketika Pena Lebih Tajam dari Nurani

Kita hidup di zaman ketika wartawan lebih takut kehilangan engagement daripada kehilangan nurani. Berita bukan lagi hasil kerja keras liputan, tapi hasil editing caption. Wartawan bukan lagi ‘anjing penjaga kekuasaan’, tapi ‘influencer yang pakai rompi pers’.

Maka jangan heran jika publik makin sinis. Karena di balik segala “kami berdiri bersama rakyat”, kadang terselip bisikan lembut dari sponsor dan ‘tugas khusus’.

Wartawan hari ini, perlu belajar satu hal: bahwa menjadi penafsir realitas butuh lebih dari sekadar pena dan kuota. Ia butuh jiwa yang tenang, logika yang hidup, dan keberanian untuk tidak menulis jika memang belum layak ditulis
Karena di tengah banjir emosi, justru yang waras akan tampak paling radikal…
Penulis A.syailendra dan Dosen komunikasi.

Perwarta.slamet raharjo

Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
Berita Terkait

MOHON DIBACA SEBELUM MENULIS BERITA

Berikut ini beberapa hal yang perlu dipertimbangkan saat menulis Berita :

- Perhatikan hukum:

Pastikan informasi yang Anda bagikan legal dan tidak mendukung ujaran kebencian, diskriminasi, kekerasan, atau aktivitas berbahaya lainnya.

 

- Hargai privasi:

Jangan bagikan informasi pribadi tentang orang lain tanpa persetujuan mereka. Ini termasuk nama, alamat, nomor telepon, dan detail sensitif lainnya.

 

- Pertimbangkan

dampaknya: Pikirkan tentang bagaimana kata-kata Anda dapat memengaruhi orang lain. Meskipun sesuatu secara teknis legal, itu mungkin menyakitkan atau menyinggung.

 

- Verifikasi informasi:

Sebelum membagikan informasi, terutama berita atau rumor, pastikan itu berasal dari sumber yang dapat dipercaya.

 

- Bertanggung jawab: Bertanggung jawablah atas informasi yang Anda bagikan. Bersiaplah untuk menjelaskan alasan Anda dan bertanggung jawab atas segala konsekuensi yang mungkin terjadi.

Ingat, membangun komunitas daring yang aman dan saling menghormati adalah tanggung jawab semua orang. Mari kita gunakan kebebasan berekspresi kita dengan bijak!