Mediaistana.com
Oleh: Andi Purnama
Pengamat Kebijakan Publik dan Pembangunan
Dalam situasi ekonomi masyarakat yang makin terjepit, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi justru bersiap menambah beban baru: utang sebesar Rp490 miliar demi menutup defisit anggaran. Di atas kertas, ini diklaim sebagai solusi. Tapi di baliknya, rakyatlah yang akan membayar semua bunga dan cicilan itu, baik melalui pajak yang makin memberatkan, maupun layanan publik yang makin menyusut.
Defisit anggaran dan ketergantungan pada pinjaman mencerminkan kegagalan dalam mengelola sistem fiskal daerah. Ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi kegagalan kepemimpinan. Seorang bupati yang telah melewati 100 hari masa jabatan seharusnya punya kendali dan arah jelas terhadap belanja dan prioritas daerah, bukan justru menambal lubang dengan gali lubang baru.
Kebijakan ini juga menunjukkan tidak adanya filosofi perencanaan pembangunan yang visioner. Seharusnya setiap rupiah yang dibelanjakan dapat diukur dari sisi dampak ekonomi dan sosialnya, bukan hanya habis tanpa hasil. Anggaran publik bukan milik kelompok elite birokrasi, tetapi harus dihitung seperti perusahaan: berani memberikan NPV, IRR, dan value for money kepada rakyat.
Pemimpin yang berintegritas tidak melacurkan tanggung jawab pada rakyatnya. Ia tahu cara mengelola fiskal terbatas tanpa harus melempar beban kepada rakyat kecil lewat kenaikan pajak dan pungutan yang mencekik. Ia tahu bahwa kepemimpinan adalah soal amanah konstitusi: mencerdaskan, mensejahterakan, dan melindungi.
Namun, hari ini kita justru melihat arah sebaliknya: rakyat menjadi sasaran tembak. Pajak-pajak dinaikkan, iuran dipungut, layanan publik minim, dan kesejahteraan hanya jargon.
Bupati dan para pejabat daerah memegang seluruh kunci kekuasaan dan aset publik. Tapi ketika beban fiskal menumpuk, mereka justru mewariskan tanggung jawab kepada rakyat lewat skema utang dan pajak. Ini bukan lagi sistem demokrasi partisipatif, tetapi feodalisme gaya baru, di mana rakyat hanya jadi sumber setoran untuk menopang bangunan kekuasaan.
Lebih tragis lagi, kekayaan alam Banyuwangi pun tidak mampu menjadi pengungkit ekonomi, karena dikelola secara eksploitatif dan elitis. Gunung emas dan tambang besar bukanlah berkah, tapi kutukan, ketika hasilnya tidak kembali pada anak cucu Putra Blambangan, malah menyisakan kerusakan dan konflik sosial.
Rakyat berharap banyak pada bupati baru. Tapi jika langkah awal yang diambil justru menambah utang, menaikkan pajak, dan membiarkan pejabat lama yang korup tetap bercokol, maka ini bukan perubahan. Ini hanyalah rezim lama yang berganti baju.
Banyuwangi butuh pemimpin yang berani memutus mata rantai feodalisme dan korupsi, bukan yang sibuk meredam kritik dan mengadu domba warga yang peduli. Kritik bukan ancaman, kritik adalah peringatan sebelum kehancuran.
Utang Rp490 miliar bukan solusi jika pengelolaannya tidak transparan dan tidak berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat. Kalau ini hanya untuk membayar proyek gagal, menutup belanja seremonial, dan menggaji birokrasi malas, maka Banyuwangi sedang diseret menuju jurang kehancuran fiskal.
Rakyat Banyuwangi sudah cukup menderita. Jangan tambah beban mereka dengan utang yang tidak produktif dan pungutan yang menindas. Kalau pemimpin masih tega membiarkan rakyat jadi korban, maka jangan salahkan jika kelak rakyat akan menagih perhitungan atas setiap kebijakan yang menyengsarakan.