Pembangunan perumahan subsidi di Kabupaten Buru, khususnya di Desa Lala, Kecamatan Namlea, menjadi sorotan serius karena diduga melanggar aturan lingkungan yang berlaku. Puluhan hingga ratusan rumah dibangun tanpa dilengkapi dokumen AMDAL atau UKL-UPL, sementara aktivitas galian C yang digunakan dalam pembangunan juga tidak memiliki izin resmi. Situasi ini jelas menjadi perhatian serius, bukan hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi pemerintah daerah yang bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan.
Ketua LSM Ekologi Pembangunan, Chairul Syam, menegaskan bahwa pengelola proyek wajib memiliki izin lingkungan sebelum memulai kegiatan. Pasal 36 ayat (1), pasal 40 dan 109 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan sanksi bagi pihak yang melakukan pembangunan tanpa izin lingkungan yang sah. Pelanggaran terhadap regulasi ini bukan hal sepele; dampak ekologisnya bisa bertahan bertahun-tahun, mulai dari kerusakan ekosistem lokal hingga risiko sosial bagi warga sekitar.
Ironisnya, kebutuhan akan rumah subsidi yang mendesak tampaknya sering dijadikan alasan untuk melewatkan prosedur perizinan penting. Pembangunan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah memang penting, namun tidak bisa menjadi pembenaran untuk mengabaikan hukum dan kelestarian lingkungan. Keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan lingkungan harus dijaga agar manfaat jangka panjang dapat dirasakan semua pihak.
Langkah yang diambil LSM Ekologi Pembangunan dengan menyurati Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Buru patut diapresiasi. Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Arifin La Tjo, menyatakan kesiapannya melakukan investigasi, yang seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah daerah untuk menegakkan regulasi secara tegas dan transparan. Investigasi ini harus menyeluruh, mencakup aspek perizinan, penggunaan galian C, serta dampak lingkungan dari pembangunan rumah subsidi tersebut.
Pemerintah daerah perlu menunjukkan bahwa pembangunan tidak harus merusak lingkungan, dan kepatuhan terhadap regulasi bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Hanya dengan prinsip itu, pembangunan berkelanjutan dapat tercapai—di mana masyarakat memperoleh rumah layak huni, dan lingkungan tetap lestari untuk generasi mendatang.
Pembangunan yang baik adalah pembangunan yang sah, aman, dan berkelanjutan. Jangan sampai rumah subsidi yang seharusnya menjadi simbol kesejahteraan justru menjadi saksi ketidakpatuhan terhadap hukum lingkungan.( AS )